LABVIRAL.COM - Siapa yang tak kenal dengan Buya Hamka? Seorang dengan nama asli Abdul Malik Karim Amrullah tersebut merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama. Ia juga dikenal sebagai tokoh Masyumi dan ulama Muhammadiyah.
Pria kelahiran Sungai Batang, Sumatera Barat 17 Februari 1908 ini juga dikenal sebagai tokoh ulama besar yang gigih dalam membela Islam. Salah satu karakter khas dari Hamka yakni ia sangat tegas dalam hal akidah, dan terkenal tanpa kompromi.
Selain perkara tegas, Hamka juga dikenal sebagai seorang penulis. Salah satu karya novelnya yang terkenal yakni Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Bahkan, novel tersebut diangkat ke layar lebar dengan judul sama.
Baca Juga: 3 Pesan Muhammadiyah Yogyakarta tentang Idulfitri 1444 H yang Jatuh pada 21 April 2023
Baca Juga: Idul Fitri Muhammadiyah 21 April 2023, Kalau Ada Perbedaan Waktu Jangan Dibesar-besarkan
Kehidupan Buya Hamka
Buya Hamka sejak kecil sudah hidup dengan bayang-bayang nama besar ayahnya, Abdul Malik Amrullah. Dari sosok ayahnya itulah membuat Hamka pada masa remaja dipenuhi dengan hal-hal berbau perjuangan.
Buya Hamka lahir pada sebuah zaman yang terdapat pertentangan kaum muda dan kaum tua. Hamka lahir di era masa pergerakan nasional yang mulai tumbuh.
Memasuki usianya yang kesepuluh, ayah Hamka mendirikan pondok pesantren Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Dari pendidikan di pondok pesantren inilah Hamka menyaksikan ayahnya menyebarkan paham dan keyakinannya.
Kemudian, pada usia 16 tahun, Hamka memutuskan untuk merantau ke Yogyakarta. Di tempat baru ini ia belajar pergerakan Islam modern ke beberapa tokoh seperti H.O.S Tjokroaminoto, R.M. Soerjopranoto, Ki Bagus Hadikusumo, dan H. Fakhruddin.
Buya Hamka belajar kepada para tokoh-tokoh pergerakan itu. Ia pun mulai mengenal perbandingan antara pergerakan politik Islam, seperti Syarikat Islam Hindia Timur dan gerakan Sosial Muhammadiyah.
Baca Juga: Kisah Inspiratif Ibu Kasur, Pencipta Lagu Anak yang Hindari Huruf 'R'
Baca Juga: Patut Dicontoh, 13 Kisah Inspiratif Pengusaha Sukses
Seorang Modernis yang Serba Bisa
Sejak ia merantau ke Yogyakarta, Buya Hamka pun ikut jalan juang Muhammadiyah dan Masyumi. Dua lembaga tersebutlah yang merepresentasikan semangat modernisme Islam.
Salah satu hal yang disorot pada waktu itu adalah perkembangan ilmu pengetahuan Barat. Bahwa pengetahuan sebagai sesuatu yang netral atau bebas nilai. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat bisa dapat bersesuaian dengan ajaran Islam.
Selain itu, Buya Hamka dikenal sebagai ulama juga pernah bekerja sebagai seorang jurnalis. Karya-karya liputan jurnalistiknya termuat di beberapa media seperti Suara Muhammadiyah.
Kemampuannya menulis itu tak hanya di bidang jurnalistik saja. Sosok Hamka juga bisa menulis novel. Sosok Buya Hamka yang menulis sastra itu tak lain supaya mendapatkan penghasilan tambahan untuk menopang perekonomian rumah tangganya.
Sosok Buya Hamka ini memang inspiratif. Ia merupakan ulama yang serba bisa. Kemampuannya dalam hal menulis tentu menjadi modal tersendiri. Tak hanya itu saja, Hamka juga selalu menjalin pertemanan dengan baik. Alhasil, ia pun menjadi salah satu tokoh suri teladan yang karismatik.***