LABVIRAL.COM - Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis), KH Jeje Zaenudin memberikan penjelasan tenang asal usul hari Arafah.
Jeje menuturkan, penyebutan istilah hari Arafah pada asalnya adalah untuk tanggal, bukan pada tempat ataupun aktivitas tertentu. Hari Arafah adalah tanggal sembilan Dzulhijah, baik ada yang wukuf ataupun tidak, baik ada yang puasa ataupun tidak.
"Karena penyebutan nama hari jika pada nama hari-hari dalam sepekan maka maksudnya adalah benar-benar nama hari tersebut secara hakiki. Umpamanya “yaum isnaen” artinya Hari Senin, tidak ada kaitannya dengan tanggal. Hari Senin bisa tanggal berapa saja," kata Jeje dalam keterangannya, Sabtu, 24 Juni 2023.
Baca Juga: 7 Film Bunga Citra Lestari yang Sayang Dilewatkan, Terbaru Pasutri Gaje
Tetapi jika disebut nama hari yang bukan kepada nama hari yang tujuh dalam seminggu itu maknanya adalah tanggal.
Umpamanya dikatakan, “ayyamul bid” (hari-hari purnama) maksudnya adalah tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan; “yaum tarwiyah” artinya tanggal delapan Dzulhijah, “yaum tasyrik” artinya tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, tidak peduli ia jatuh pada hari apa saja.
"Maka demikian juga jika dikatakan “shaum yaum ‘arafah” maksudnya puasa tanggal sembilan Dzulhijah, tidak peduli jatuh pada hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, ataupun Ahad," ujarnya.
Baca Juga: Indonesia Tuan Rumah Piala Dunia U17 2023
Jeje menjelaskan, perintah puasa ‘Arafah adalah “Shaum yaum ‘arafah”. Artinya “puasa pada hari ‘Arafah” bukan puasa karena adanya perbuatan jamaah haji yang sedang melaksanakan wukuf di ‘Arafah, bukan pula “puasa karena tempat ‘Arafah”. Perhatikanlah perbedaannya dengan cermat karena di sinilah letak perselisihannya.