"Antara Hamba (mukmin) dan kafir ialah meninggalkan Sholat." (HR. Ibnu Majah). Maksudnya, meninggalkan sholat bisa menjadi perantara seseorang menjadi kafir.
Dua hadist yang dikutip di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya mendirikan sholat. Terlebih lagi, terdapat kesepakatan ulama itjima bahwa sholat merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Siapapun yang sudah memenuhi persyaratan mesti mengerjakannya dalam keadaan apapun dan sesulit apapun.
Kemudian, bagaimana hukumnya mengerjakan puasa, tetapi tidak mengerjakan sholat? Apakah puasanya masih dihukumi sah, mengingat sholat sebagai amalan utama dan pokok?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita mesti merinci terlebih dahulu atau paling tidak bertanya kepada orang yang tidak sholat tersebut kira-kira apa alasannya meninggalkan sholat? Apakah karena mengingkari kewajibannya atau lantaran malas. Sebab keduanya memiliki implikasi hukum yang berbeda-beda.
Bin Ahmad al-Kaf dalam Taqriratus Sadidah fi Masail Mufidah menjelaskan:
له حالتان: فتارة يتركها جحودا وتارة يتركها كسلا: إذا تركها جحودا، أي: معتقدا أنها غير واجبة هو كالمرتد........، إذا تركها كسلا: وذلك بأن أخرجها عن وقت الضرورة فهو مسلم
Artinya, “Ada dua kondisi orang yang meninggalkan shalat: meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya dan meninggalkan shalat karena malas. Orang yang masuk dalam kategori pertama, maka ia dihukumi murtad. Sementara orang yang meninggalkannya karena malas, hingga waktunya habis, maka ia masih dikatakan muslim.”