KPAI: Anak Harus Dijauhkan dari Konflik Bersenjata, Hukum Jelas Melarang

Ali Majid
Selasa 15 April 2025, 11:44 WIB
Kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia. (Sumber: KPAI)

Kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia. (Sumber: KPAI)

Labviral.com - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan anak-anak tidak boleh dilibatkan dalam konflik bersenjata karena berisiko tinggi terhadap fisik, psikis, dan perkembangan mereka.

Wakil Ketua KPAI Jasra Putra menyoroti maraknya pelanggaran hak anak meski hukum internasional melarangnya.

Anak-anak tidak layak diberikan lingkungan kekerasan. Kebutuhan dasarnya adalah tumbuh kembang yang dominan memiliki psikologis sebagai peniru, bukan pendengar atau pembelajar yang baik,” ujar Jasra, Senin (14/4/2025), dikutip dari Tempo.

Ia menambahkan, “Anak-anak yang terlibat konflik ataupun kepentingan politik adalah anak-anak yang mendapat perlakuan salah.

Sebab, pemahaman mereka mudah dibelokkan, secara fisik mudah dikuasai, dan secara kejiwaan mudah dibawa dalam pusaran tekanan.”

Baca Juga: 5 Fakta Penemuan Alat Isap Sabu di Kelas TK Pelalawan, KemenPPPA Desak Polisi Bertindak

Jasra merujuk Konvensi Jenewa 1949, Konvensi Hak Anak 1989, dan Protokol Tambahan 2000 yang melarang anak di bawah 18 tahun terlibat permusuhan.

Konvensi ILO Nomor 182/1999 juga menegaskan perlunya perdamaian dan penghapusan penggunaan anak dalam konflik.

Di Indonesia, UU Perlindungan Anak Nomor 35/2014 Pasal 76H dan 87 mengatur larangan ini dengan ancaman pidana hingga lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta.

Baca Juga: Komnas Perempuan Kutuk Kasus Perkosaan oleh Dokter Residen di RSHS Bandung

KPAI menyoroti dugaan keterlibatan anak dalam konflik Papua, sebagaimana ditampilkan dalam film The Child Soldiers of West Papua (25/3).

Juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom menyebut anak usia 8–15 tahun di markas mereka adalah keturunan milisi.

“Naluri berjuang untuk kemerdekaan Papua itu sudah tertanam dalam pikiran mereka,” katanya, Jumat (11/4).

Jasra menegaskan anak sulit membedakan manipulasi dan kenyataan dalam konflik.

“Ini bukan soal konflik, perang, atau aksi massa, atau aksi dukung mendukung, tapi anak-anak belum bisa membedakan perlakuan yang dihadapi,” tuturnya, mendesak sosialisasi hukum humaniter untuk mencegah kekerasan berulang.***

Follow Berita LABVIRAL di Google News
Editor :
Halaman :
Berita Terkait Berita Terkini