LABVIRAL.COM - Redenominasi rupiah dinilai belum bisa diterapkan dalam waktu dekat, terutama di tengah perekonomian saat ini yang belum stabil. Namun, apa itu redenominasi rupiah?
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Abdurohman menyampaikan bahwa pelaksanaan redenominasi harus menunggu momentum yang tepat.
Sementara saat ini, perekonomian dunia belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19. Situasi global yang masih sangat dinamis juga menjadi pertimbangan.
Baca Juga: Survei KedaiKOPI, 61,3 Persen Publik Ingin Perubahan, Persoalan Ekonomi Jadi Pendorongnya
“Dari sisi global kan risikonya masih berat,” katanya usai menghadiri Rapat Paripurna DPR RI beberapa waktu lalu.
Untuk diketahui, rencana redenominasi telah tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 yang salah satunya menjelaskan tentang RUU terkait Redenominasi Rupiah.
Pada kesempatan sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan bahwa bank sentral memang telah menyiapkan implementasi redenominasi atau penyederhanaan nilai tukar rupiah, tetapi belum dapat diterapkan. Persiapan tersebut telah dilakukan sejak 2010.
Baca Juga: Survei Soal Kondisi Ekonomi Nasional, Jawaban Mayoritas Rakyat Indonesia Tidak Disangka-sangka
Menurut KBBI
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengubah nilai tukarnya. Misalnya, Rp 1.000 menjadi Rp 1.
Dari definisi versi KBBI tersebut, dapat disimpulkan bahwa redenominasi berbeda dengan sanering atau pemotongan (nilai) uang.
Redonominasi Rupiah Berbeda dengan Sanering
Sebagaimana yang pernah terjadi di Indonesia pada pengujung 1950-an, tepatnya pada 25 Agustus 1959. Saat itu, uang pecahan 500 dan 1.000 rupiah diturunkan nilainya menjadi 50 rupiah dan 100 rupiah. Dengan kata lain, nilai uang dipangkas hingga 90 persen..
Kebijakan sanering pada waktu itu disebut dengan istilah “penyehatan uang” untuk mencegah inflasi semakin tinggi, mengendalikan harga, meningkatkan nilai mata uang, dan memungut keuntungan tersembunyi dari perdagangan.
Oleh karena itu, berbeda dengan sanering, redenominasi tidak mengurangi nilai mata uang, sehingga tidak mempengaruhi harga barang. Redenominasi hanyalah menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dalam bertransaksi.
Secara teknis, uang yang sudah diredenominasi, jumlah angkanya mengecil tapi nilainya tetap sama. Contoh redenominasi adalah uang Rp10.000, setelah dilakukan redenominasi, maka tiga angka di belakang akan hilang, penulisannya berubah Rp10 saja dan nilai uang masih sama dengan sepuluh ribu rupiah.
Manfaat dan Tujuan Redenominasi Rupiah
Tujuan utama redenominasi rupiah adalah menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam transaksi serta efektif dalam pencatatan pembukuan keuangan.
Menurut Permana dalam riset berjudul Prospects of Redenomination Implementation in Indonesia , pecahan mata uang rupiah saat ini merupakan pecahan mata uang terbesar ketiga di dunia setelah Zimbabwe dan Vietnam.
Untuk kawasan Asia Tenggara, pecahan Rp100.000 saat ini merupakan pecahan uang terbesar kedua setelah Dong Vietnam dengan denominasi 500.000.
Baca Juga: 11 Faktor Penyebab Perceraian, dari Zina hingga Permasalahan Ekonomi
Pecahan uang rupiah yang cukup besar ini beberapa waktu belakangan ini mulai menimbulkan permasalahan-permasalahan bagi masyarakat, khususnya dalam melakukan transaksi keuangan.
Melalui redenominasi, proses penghitungan menjadi lebih mudah, sebab tiga angka nol yang menyertai di belakang satuan uang tidak digunakan.
Dalam hitungan perbankan, penyederhanaan digit mata uang yang dilakukan dengan mengurangi tiga angka nol pada rupiah akan menghemat biaya teknologi yang digunakan.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dalam Resesi, Penurunan Aktivitas Ekonomi Secara Signifikan
Selain itu, bentuk penyederhanaan digit juga mempermudah untuk membaca laporan keuangan dalam praktik akuntansi.
Contoh Redenominasi Rupiah Tanpa Disadari
ekonomi
Jika melihat fenomena di masyarakat, pada saat ini tanpa disadari sebenarnya masyarakat secara tidak langsung telah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal.
Jika kita berjalan-jalan di mall, restoran, café, atau bioskop, terpampang daftar harga/tarif dengan embel-embel “K” dibelakang digitnya.
Contohnya untuk menu nasi soto ayam seharga Rp30.000 per porsi hanya dicantumkan 30 K saja. ‘K’ di sini memiliki arti umum kelipatan seribu. Atau harga kudapan di bioskop, sekantong popcorn seharga Rp 42.000 hanya dicantumkan 42 K saja.
Baca Juga: Yuks Mengenal Stagflasi Ekonomi Yang Bikin Negara Internasional Ketar-Ketir
Dari fenomena tersebut, tanpa disadari, sebetulnya masyarakat secara tidak langsung sudah menerapkan redenominasi rupiah meski secara informal.
Artinya selama ini tidak ada ketentuan resmi dari otoritas moneter Bank Indonesia, namun masyarakat sudah biasa melakukannya dalam transaksi dan pencatatan rupiah sehari-hari.***