Yā ayyuhan-nabiyyu iżā ṭallaqtumun-nisā`a fa ṭalliqụhunna li'iddatihinna wa aḥṣul-'iddah, wattaqullāha rabbakum, lā tukhrijụhunna mim buyụtihinna wa lā yakhrujna illā ay ya`tīna bifāḥisyatim mubayyinah, wa tilka ḥudụdullāh, wa may yata'adda ḥudụdallāhi fa qad ẓalama nafsah, lā tadrī la'allallāha yuḥdiṡu ba'da żālika amrā
Artinya: "Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru." (QS. At-Talaq ayat 1).
Baca Juga: Dalil Kewajiban Memberi Nafkah yang Halal untuk Keluarga
Melansir Narasi, Syekh Zakariya Al-Anshori dalam kitab Tuhfatul Thullab berpendapat bahwa iddah adalah masa tunggu yang dilalui oleh seorang perempuan untuk mengetahui bersihnya rahim atau untuk ibadah.
Dengan demikian, seorang wanita yang dicerai suami dalam keadaan apapun, entah cerai hidup, mati, sedang haid atau tidak, sedang hamil atau tidak, tetap wajib menjalankan masa iddah.
Di samping itu, seorang wanita yang masih dalam masa iddah dilarang menerima pinangan laki-laki lain karena masih memiliki hak nafkah iddah dari mantan suaminya.***