Pemilu 1971 terlaksana pada 5 Juli 1971 atau setelah 4 tahun Soeharto berada di kursi kepresidenan. Pemilu tersebut diikuti sepuluh partai, yakni Partai Katolik, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Golongan Karya (Golkar), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Baca Juga: Kenali Penyebab Golput, Kecewa Kinerja Pemerintah?
Menurut Arief dalam bukunya 'Kebebasan, Negara, Pembangunan' (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), pembatasan partai politik dalam Pemilu 1971 melanggar asas demokrasi yang paling mendasar, yakni kemerdekaan berserikat dan berpolitik.
Arief dkk kemudian mengajak masyarakat untuk golput. Ajakan tersebut disampaikan di Gedung Balai Budaya Jakarta. Bahkan, ajakan golput juga disosialisasikan melalui pamflet di wilayah-wilayah Jakarta kala itu.
Setelah Pemilu 1971 terlaksana, fenomena golput terus menunjukan eksistensinya. Bahkan, tren golput cenderung naik sejak era reformasi.
Baca Juga: Pelajari Syarat-syarat Mendirikan Partai Politik dan Larangannya
Pileg 1999 angka golput mencapai 6,4%, pileg 2004 meningkat menjadi 15,9% dan pileg 2009 mencapai angka 29,1%, pileg 2014 24,89 persen, dan Pileg 2019 mencapai 29,68 persen.