Trennya Selalu Meningkat, Ini Sejarah Gerakan Golput di Pemilu Indonesia

Zahwa Elia Azzahra
Sabtu 25 Maret 2023, 21:44 WIB
Ilustrasi, Pemilu 2024

Ilustrasi, Pemilu 2024

LABVIRAL.COM - Gerakan golput atau golongan putih (tidak memilih) selalu ada setiap pelaksanaan pemilihan umum, atau sejak pertama kali bangsa Indonesia menyelenggarakannya pada 1955.

Golput  merupakan sikap seseorang yang tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu karena berbagai faktor dan alasan.

Pada pemilu 1955, golput terjadi karena ketidaktahuan atau kurangnya informasi tentang penyelenggaraan pemilu. Sehingga masyarakat tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS).

Baca Juga: Cara Daftar BPJS Kesehatan Secara Online dan Offline 2023 Beserta Rincian Pembayaran Iuran

Pada era Orde Baru, golput diartikan sebagai gerakan moral untuk memprotes penerapan sistem pemilu yang tidak demokratis oleh penguasa kala itu.

Golput bukan sebuah tindakan kriminal, sebab tidak ada aturan yang mengikatnya. Dengan demikian, golput merupakan hak politik seseorang.

Sejarah Golput

Golput pertama kali digaungkan aktivis Arief Budiman pada 1971 bersama sejawatnya Adnan Buyung Nasution, Imam Waluyo, Julius Usman dan Husin Umar.

Baca Juga: Apakah Mematikan Mesin Mobil Tiba-tiba berbahaya? Ini Penjelasannya

Gerakan golput kala itu didasari kekecewaan terhadap pemerintahan Soeharto yang dianggap tidak demokratis dengan membatasi partai-partai politik.

Pemilu 1971 terlaksana pada 5 Juli 1971 atau setelah 4 tahun Soeharto berada di kursi kepresidenan. Pemilu tersebut diikuti sepuluh partai, yakni Partai Katolik, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Golongan Karya (Golkar), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).

Baca Juga: Kenali Penyebab Golput, Kecewa Kinerja Pemerintah?

Menurut Arief dalam bukunya 'Kebebasan, Negara, Pembangunan' (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), pembatasan partai politik dalam Pemilu 1971 melanggar asas demokrasi yang paling mendasar, yakni kemerdekaan berserikat dan berpolitik.

Arief dkk kemudian mengajak masyarakat untuk golput. Ajakan tersebut disampaikan di Gedung Balai Budaya Jakarta. Bahkan, ajakan golput juga disosialisasikan melalui pamflet di wilayah-wilayah Jakarta kala itu.

Setelah Pemilu 1971 terlaksana, fenomena golput terus menunjukan eksistensinya. Bahkan, tren golput cenderung naik sejak era reformasi.

Baca Juga: Pelajari Syarat-syarat Mendirikan Partai Politik dan Larangannya

Pileg 1999 angka golput mencapai 6,4%, pileg 2004 meningkat menjadi 15,9% dan pileg 2009 mencapai angka 29,1%, pileg 2014 24,89 persen, dan Pileg 2019 mencapai 29,68 persen.

Follow Berita LABVIRAL di Google News
Halaman :
Berita Terkait Berita Terkini