Pasalnya, teknik pengobatan tradisional gurah mudah dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Termasuk para pasien yang setelah mencoba gurah, ia langsung bisa mempraktikannya pada orang lain.
Hal tersebut juga diamini oleh Ahmad Zabidi Marzuqi, anak Kiai Marzuqi. Menurutnya, siapa saja bisa mempraktikan pengobatan tradisional gurah, asalkan memiliki cairan dari akar pohon tanaman srigunggu.
Menurut generasi kedua penemu gurah ini, pengobatan tradisional gurah bisa menjadi potensi ekonomi sendiri. Orang-orang yang sudah pernah gurah ada yang mencoba menjadikan gurah sebagai pekerjaan utama, dan menjadi pekerjaan sampingan.
Penyebaran gurah ke berbagai pelosok Indonesia pun tak terlepas dari peran warga lokal Imogiri. "Dari penduduk di sini ingin buka pengobatan gurah di Jakarta, di Kalimantan, di Sulawesi hanya dengan membawa bahan dari akar tanaman srigunggu itu bisa," kata Zabidi saat ditemui di Pondok Pesantren (PP) Ar-Romly di Giriloyo, Wukirsari, Imogori, Bantul, Selasa (3/1) .
Selain itu, Zabidi yang juga melakukan pengobatan gurah ini tak pernah mematok harga kepada pasiennya.
"Kalau tarif di sini seikhlasnya. Kita tidak bisa mematok sekian-sekian itu tidak. Tapi paling tidak biasanya satu orang ada yang Rp30.000, ada yang Rp50.000, dan ada yang Rp100.000," terangnya.
Baca Juga: 7 Ramuan Herbal untuk Mengecilkan Perut Buncit, dari Teh Hijau sampai Air Jahe
Inovasi Baru
Teknik pengobatan gurah awalnya hanya dilakukan menggunakan cairan dari akar pohon srigunggu. Namun, dikarenakan pengobatan dengan memasukan cairan gurah ke dalam hidung terasa sakit, maka muncul inovasi teknik gurah lainnya.
Inovasi tersebut adalah hadirnya ramuan gurah dalam bentuk kapsul. Menurut laporan penelitian Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul (2020), menyebut jika pada tahun 1988, Djawadi, salah satu praktisi gurah membuat ramuan kapsul.
Kapsul dari ramuan akar srigunggu ini ditelan melalui mulut, dan tidak terasa sakit. Hadirnya inovasi kapsul adalah siasat terhadap ketakutan rasa sakit dari gurah dengan cairan ke dalam hidung.