LABVIRAL.COM - Jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan Pemilu. Lalu, Badan Pengawan Pemilu (Bawaslu) dikenal mengawasi kerja KPU.
Sedangkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai satu kesatuan fungsi Penyelenggaraan pemilu, sebagai lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu.
Lalu, apa saja tugas, wewenang, kewajiban, serta sejarah dari DKPP ini?
Baca Juga: Mengenal Sejarah, Tugas dan Wewenang dari KPU
Sejarah DKPP
Dilansir Labviral.com dari laman dkkp.go.id, DKPP bermula dari pembentukan Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-KPU). Lembaga ini dibentuk berdasarkan UU 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. DK-KPU tersebut bersifat ad-hoc, dan merupakan bagian dari KPU.
DK-KPU dibentuk untuk memeriksa pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU dan anggota KPU Provinsi.
Untuk pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU Kabupaten/Kota, dibentuk DK-KPU Provinsi.
Baca Juga: Profil Muhaimin Iskandar, Panglima Santri yang Hobi Mengendarai Vespa
Tanggal 12 Juni 2012 lalu, DK KPU secara resmi berubah menjadi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu disingkat DKPP berdasarkan UU No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
DKPP menjadi bersifat tetap, struktur kelembagaannya lebih profesional, dan dengan tugas, fungsi, kewenangan menjangkau seluruh jajaran penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu beserta jajarannya dari pusat sampai tingkat kelurahan/desa.
Anggota DKPP dipilih dari unsur masyarakat, profesional dalam bidang kepemiluan, ditetapkan bertugas per-5 tahun dengan masing-masing 1 (satu) perwakilan (ex officio) dari unsur anggota KPU dan Bawaslu aktif.
Baca Juga: Syarat Capres dan Cawapres 2024, Pendidikan Terendah SMA hingga Usia Minimal 40 Tahun
Pada tahun 2017, melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, DKPP dipandang penting dikuatkan kesekretariatannya.
Jika pada UU No. 15 Tahun 2011, kesekretariatan DKPP dibantu oleh Sekjen Bawaslu. UU No. 7 Tahun 2017 mengamanatkan kesekretariatan DKPP dipimpin langsung oleh seorang Sekretaris.
Perintah tambahan lain di antarannya tentang Tim Pemeriksa Daerah (TPD), yang sebelumnya hanya dibentuk berdasarkan peraturan DKPP menjadi diamanatkan undang-undang meski bersifat ad hoc.
TPD berfungsi sebagai hakim di daerah guna membantu dan/atau menjadi hakim pendamping anggota DKPP, dalam melakukan pemeriksaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu di daerah.
Baca Juga: Pengertian dan Tujuan Pemilu, Membentuk Pemerintahan Baru
Tugas, Kewajiban dan Wewenang DKPP
Tugas dan fungsi DKPP telah disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam Penyelenggaraan Pemilu. Penguatan kelembagaan Penyelenggara Pemilu yang dimaksud adalah untuk dapat menciptakan penyelenggaraan Pemilu yang lancar, sistematis dan demokratis.
Penjelasan tentang DKPP telah diatur terinci dalam Bab III, Pasal 155-Pasal 166 di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Adapun tugas DKPP menurut Pasal 156 ayat (1), yakni:
Menerima aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.
Melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.
Sementara wewenang DKPP dalam Pasal 159 ayat (2), yaitu:
Memanggil Penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan.
Memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain.
Memberikan sanksi kepada Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik.
Memutus pelanggaran kode etik.
Kewajiban DKPP diuraikan pada Pasal 159 ayat (3), yaitu;
Menerapkan prinsip menjaga keadilan, kemandirian, imparsialitas, dan transparansi.
Menegakkan kaidah atau norma etika yang berlaku bagi Penyelenggara Pemilu;
bersikap netral, pasif, dan tidak memanfaatkan kasus yang timbul untuk popularitas pribad.
Menyampaikan putusan kepada pihak terkait untuk ditindaklanjuti.
Subjek penanganan perkara DKPP (subjectum litis) terdiri atas; Pengadu dan Teradu.
Baca Juga: 1955, Pemilu Pertama di Indonesia
Sifat Putusan DKPP
Putusan DKPP bersifat final dan mengikat (final and binding). Pada tahun 2013, sifat putusan yang diatur sejak DKPP masih menggunakan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu pernah di-judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh kelompok masyarakat sipil.
Hasilnya, melalui Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013, MK memutuskan bahwa sifat final dan mengikat dari putusan DKPP haruslah dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu dalam melaksanakan putusan DKPP.
Pada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, “Sifat putusan DKPP yang final dan mengikat” juga tidak berubah (Pasal 458 ayat (10). Adapun proses pengambilan keputusan, diatur dalam Pasal 458 ayat (10), (11) dan (12), yaitu:
DKPP menetapkan putusan setelah melakukan penelitian dan/atau verifikasi terhadap pengaduan tersebut, mendengarkan pembelaan dan keterangan saksi, serta mempertimbangkan bukti lainnya.
Baca Juga: Profil Airlangga Hartarto: Bermimpi jadi Pendekar Kungfu, Berlabuh dalam Karir Politik
Putusan DKPP berupa sanksi atau rehabilitasi diambil dalam rapat pleno DKPP.
Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11) dapat berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap untuk Penyelenggara Pemilu.
Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat.
penyelenggara pemilu wajib melaksanakan putusan DKPP.